22 Nov 2010

CARA MEMAHAMI NASH AL-QUR'AN

Cara Memahami Nash Al-Qur’an

1. Memahami Ayat dengan Ayat
Menafsirkan satu ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain, adalah jenis penafsiran yang paling tinggi. Karena ada sebagian ayat Al-Qur’an itu yang menafsirkan (baca: menerangkan) makna ayat-ayat yang lain. Contohnya ayat (yang artinya) :
“Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak pernah merasa cemas dan tidak pula merasa bersedih hati.” (QS. Yunus [10]: 62)
Lafadz auliya' (wali-wali), diterangkan/ditafsirkan dengan ayat berikutnya yang artinya:
“Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” (QS. Yunus [10]: 63)
Berdasarkan ayat di atas maka setiap orang yang benar-benar mentaati perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, maka mereka itu adalah para wali Allah. Tafsiran ini sekaligus sebagai bantahan orang-orang yang mempunyai anggapan, bahwa wali itu ialah orang yang mengetahui perkara-perkara yang gaib, memiliki kesaktian, di atas kuburnya terdapat bangunan kubah yang megah, atau keyakinan-keyakinan batil yang lain. Dalam hal ini, karamah bukan sebagai syarat untuk membuktikan orang itu wali atau bukan. Karena karamah itu bisa saja tampak dan bisa pula tidak.
Adapun hal-hal aneh yang ada pada diri sebagian orang-orang sufi dan orang-orang ahli bid’ah, adalah sihir, seperti yang sering terjadi pula pada orang-orang majusi di India dan lain sebagainya. Itu sama sekali bukan karamah, tetapi sihir seperti yang difirmankan Allah:
“Terbayang kepada Musa, seolah-olah ia (tali-temali itu) merayap cepat lantaran sihir mereka.” (QS. Thaahaa [20]: 66)

2. Memahami Ayat Al-Qur’an dengan Hadits Shahih
Menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits shahih sangatlah urgen, bahkan harus. Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi shallalloohu ‘alaihi wa sallam. Tidak lain supaya diterangkan maksudnya kepada semua manusia. Allah berfirman:
“... Dan Kami turunkan Al-Qur’an kepadamu (Muhammad) supaya kamu terangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir.” (QS. An-Nahl [16]: 44)
Rasulullah shallalloohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ketahuilah, aku sungguh telah diberi Al-Qur’an dan yang seperti Al-Qur’an bersama-sama.” (HR. Abu Dawud)

Berikut contoh-contoh tafsir ayat dengan Hadits:
() Ayat yang artinya:
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya.” (QS. Yunus [10]: 26)
“Tambahan” di sini menurut keterangan Rasulullah ialah berupa kenikmatan melihat Allah. Beliau bersabda:
“Lantas tirai itu terbuka sehingga mereka dapat melihat Rabbnya, itu lebih mereka sukai dari pada apa-apa yang diberikan kepada mereka.” Kemudian beliau membaca ayat ini: Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya.” (HR. Muslim)

() Ketika turun ayat, yang artinya:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kezhaliman....” (QS Al-An’aam [6]: 82)
Menurut Abdullah bin Mas’ud, para sahabat merasa keberatan karenanya. Lantas merekapun bertanya: “Siapa di antara kami yang tidak menzhalimi dirinya, ya Rasul?” Beliau jawab: “Bukan itu maksudnya. Tetapi yang dimaksud kezaliman di ayat itu adalah syirik. Tidakkah kalian mendengar/ucapan Luqman kepada putranya yang berbunyi: “Wahai anakku, janganlah engkau menyekutukan Allah. Karena perbuatan syirik (menyekutukan Allah) itu sungguh suatu kezhaliman yang sangat besar.” (HR. Muslim)
Dari ayat dan hadits di atas dapat dipetik kesimpulan bahwa kezhaliman itu urutannya bertingkat-tingkat. Perbuatan maksiat itu tidak disebut syirik. Orang yang tidak menyekutukan Allah, mendapat keamanan dan petunjuk.

3. Memahami Ayat dengan Pemahaman Sahabat
Merujuk kepada penafsiran para sahabat terhadap ayat-ayat Al-Qur’an seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud sangatlah penting sekali untuk mengetahui maksud suatu ayat. Karena, di samping senantiasa menyertai Rasulullah, mereka juga belajar langsung dari beliau. Berikut ini beberapa contoh tafsir dengan ucapan sahabat, tentang ayat yang artinya:
“Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Thaahaa [20]: 5)
Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab Fat-hul Baari berkata: “Menurut Ibnu Abbas dan para ahli tafsir lain, istawa itu maknanya irtafa'a (naik).”


4. Harus Mengetahui Gramatika Bahasa Arab
Tidak diragukan lagi, untuk bisa memahami dan menafsiri ayat-ayat Al-Qur’an, mengetahui gramatika bahasa Arab sangatlah urgen. Karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Allah berfirman:
“Sungguh Kami turunkan Al-Qur’an dengan bahasa Arab supaya kamu memahami.” (QS. Yusuf [12]: 2)
Tanpa mengetahui bahasa Arab, tak mungkin bisa memahami makna ayat-ayat Al-Qur’an.
Contoh pertama, ayat: “tsummastawaa ilas samaa’i”. Makna istawaa ini banyak diperselisihkan. Kaum Mu’tazilah mengartikannya menguasai dengan paksa. Ini jelas penafsiran yang salah. Tidak sesuai dengan bahasa Arab. Yang benar, menurut pendapat para ahlus sunnah wal jamaah, istawaa artinya ‘alaa wa irtafa’a (meninggi dan naik). Karena Allah mensifati dirinya dengan Al-’Aliyy (Maha Tinggi).
Anehnya, banyak orang penganut faham Mu’tazilah yang menafsiri lafazh istawaa dengan istaulaa. Pemaknaan seperti ini banyak tersebar di dalam kitab-kitab tafsir, tauhid, dan ucapan-ucapan orang. Mereka jelas mengingkari ke-Maha Tinggian Allah yang jelas-jelas tercantum dalam ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits-hadits shahih, perkataan para sahabat dan para tabi’in. Mereka mengingkari bahasa Arab di mana Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa itu. Ibnu Qayyim berkata: “Allah memerintahkan orang-orang Yahudi supaya mengucapkan hitthhotun (bebaskan kami dari dosa), tapi mereka pelesetkan atau rubah menjadi hinthotun (biji gandum). Ini sama dengan kaum Mu’tazilah yang mengartikan istawaa dengan arti istaulaa.

Contoh kedua, pentingnya Bahasa Arab dalam menafsiri suatu ayat, misalnya ayat yang artinya:
“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada ilah (yang haq) melainkan Allah...” (QS. Muhammad [47]: 19)
Ilah artinya al-ma’bud (yang disembah). Maka kalimat Laa ilaaha illallaah, artinya laa ma’buuda illallooh (tidak ada yang patut disembah kecuali Allah saja). Sesuatu yang disembah selain Allah banyak; orang-orang Hindu di India menyembah sapi, pemeluk Nasrani menyembah Isa Al-Masih, tidak sedikit dari kaum Muslimin sangat disesalkan karena menyembah para wali dan berdo’a meminta sesuatu kepadanya. Padahal, dengan tegas Nabi shallalloohu ‘alaihi wa sallam berkata, artinya:
“Doa itu ibadah.” (HR. At-Tirmidzi)
Nah, karena sesuatu yang dijadikan sesembahan oleh manusia banyak macamnya, maka dalam menafsirkan ayat di atas mesti ditambah dengan kata haq sehingga maknanya menjadi Laa ma’buuda haqqon illallooh (tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah). Dengan begitu, semua sesembahan-sesembahan yang batil yakni selain Allah, keluar atau tidak masuk dalam kalimat tersebut. Dalilnya ialah ayat berikut, yang artinya:
“Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq. Dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang batil.” (QS. Luqman [31]: 30)

Dengan diartikannya lafadz ilah menjadi al-ma’buud, maka jelaslah kekeliruan kebanyakan orang Islam yang berkeyakinan bahwa Allah ada di mana-mana dan mengingkari ketinggianNya di atas ‘Arsy dengan memakai dalil ayat berikut, yang artinya:
“Dan Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 84)
Sekiranya mereka memahami arti ilah dengan benar, niscaya mereka tidak memakai dalil ayat tersebut. Yang benar, seperti yang telah diterangkan di atas, al-ilah itu artinya al-ma’buud, sehingga ayat itu artinya menjadi:
“Dan Dialah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi.”

Contoh ketiga, pentingnya mengetahui gramatika bahasa Arab supaya bisa menafsiri ayat dengan benar, ialah mengetahui ungkapan kata akhir tapi didahulukan, dan kata depan tapi ditaruh di akhir kalimat. Sebagai contoh: iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'in (Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan). (QS. Al-Faatihah [1]: 5)
Didahulukannya kata iyyaaka atas kata kerja na’budu dan nasta’in, ialah untuk pembatas dan pengkhususan, maka maksudnya menjadi laa na’budu illaa iyyaaka walaa nasta'iinu illaa bika yaa Allooh, wanakhusshuka bil ‘ibaadah wal isti’aanah wahdaka (kami tidak menyembah siapapaun kecuali hanya kepadaMu. Kami tidak mohon pertolongan kecuali hanya kepadaMu, ya Allah. Dan hanya kepada-Mu saja kami beribadah serta memohon pertolongan).

5. Memahami Nash Al-Qur’an dengan Asbabun Nuzul
Mengetahui asbabun nuzul (peristiwa yang melatari turunnya ayat/surat) sangat membantu sekali dalam memahami Al-Qur’an dengan benar.
Sebagai contoh, ayat yang artinya:
“Katakanlah: ‘Panggillah mereka yang kamu anggap sebagai (tuhan) selain Allah, mereka tidak akan memiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya.’ Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya serta takut akan adzab-Nya. Sesungguhnya adzab Tuhanmu itu sesuatu yang mesti ditakuti.” (QS. Al-Israa’ [17]: 56-57)
Ibnu Mas’ud berkata: “Segolongan manusia ada yang menyembah segolongan jin, lantas sekelompok jin itu masuk Islam. Karena yang lain tetap bersikukuh dengan peribadatannya, maka turunlah ayat: ‘Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka.’” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Ayat ini sebagai bantahan terhadap orang-orang yang menyeru (meminta, menyembah) dan bertawassul kepada para nabi atau para wali. Tapi, sekiranya orang-orang itu bertawassul kepada keimanan dan kecintaan mereka kepada para nabi atau wali, tentu tawassul semacam itu boleh-boleh saja.
Demikian penjelasan Syaikh Muhammad Ibn Jamil Zainu dalam kitab Kaifa Nafhamul Qur'an. (sumber: http://sinaungaji.blogspot.com/2010/04/cara-memahami-nash-al-quran.html dengan editing seperlunya, semoga manfaat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar